SURABAYA – Baru-baru ini, negara Sri Lanka mengalami krisis ekonomi berkelanjutan. Salah satu penyebab krisis tersebut adalah utang luar negeri yang melimpah yang tak mampu dibayar oleh Sri Lanka. Pakar ekonomi UNAIR Dr Miguel Angel Esquivias Padilla MSE memberikan tanggapan mengenai krisis tersebut.
Krisis Ekonomi di Sri Lanka
Menurut Miguel, krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka disebabkan oleh adanya kombinasi beberapa faktor yaitu ekonomi, politik, dan sosial. Kombinasi faktor tersebut kurang pas, apalagi diperparah dengan tekanan kondisi Covid-19 serta tekanan perang Rusia dan Ukraina.
“Namun demikian, dari dulu memang perekonomian Sri Lanka sudah memiliki beberapa kelemahan yaitu Sri Lanka punya utang yang cukup besar, ” ungkapnya, Jum'at (15/7/2022).
Pada tahun 2005, kata Miguel, Sri Lanka sudah mengalami defisit yang bertambah dari tahun ke tahun. Aspek pertumbuhan ekonomi Sri Lanka dari 2005 hingga 2021, mengalami enam kali pertumbuhan ekonomi yang negatif. Sri Lanka juga mengalami sebuah transformasi dalam perekonomian dimana manufaktur perindustrian menurun.
“Sri Lanka mengalami kondisi atau perubahan ekstraksional dalam perekonomiannya, ” terang Miguel.
Dosen UNAIR kelahiran Meksiko itu menambahkan bahwa krisis yang dialami Sri Lanka juga dipengaruhi kondisi Covid-19. Pandemi berdampak pada penerimaan valuta asing karena Sri Lanka tergantung pada uang yang dikirim dari luar negeri.
“Hampir sepuluh persen dari perekonomian Sri Lanka tergantung pada penerimaan uang dari luar negeri atau penerimaan dari aspek jasa pariwisata, ” tuturnya.
Selain itu, juga terjadi kelangkaan beberapa barang di Sri Lanka. Semua faktor itu menjadi satu sehingga menciptakan sebuah masalah yang cukup besar.
Yang Dapat Dipelajari
Hal yang bisa dijadikan pelajaran dari kasus krisis ekonomi di Sri Lanka adalah tentang ketergantungan negara terhadap impor dan barang dari luar negeri. Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNAIR itu, Sri Lanka sendiri sangat bergantung pada negara lain, misal pupuk dan input lain yang penting.
“Ketika terjadi krisis seperti ini, Sri Lanka dalam negeri tidak memiliki kapabilitas atau kapasitas untuk bisa mengganti produk tersebut dengan produk lokal, ” ucapnya.
Miguel menyarankan, suatu negara perlu menjaga defisit perekonomian yang mereka miliki. Jangan sampai terlalu lama membiarkan defisit bertambah terus menerus.
“Sri Lanka banyak memiliki proyek investasi infrastruktur dan sebagainya, tapi sebagian besar bersifat utang, ” tuturnya.
Sri Lanka mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil sehingga sangat meragukan apakah Sri Lanka bisa membayar utangnya atau tidak. “Ternyata Sri Lanka tidak dapat melunasi utangnya karena struktur perekonomian yang sangat lemah untuk menghadapi utang sebesar itu, ” jelasnya.
Indonesia Masih Aman
Dikatakan Miguel bahwa perekonomian di indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi selama 22 tahun secara berturut-turut. Nilai tambah dari perekonomian Indonesia juga jauh lebih solid dari pada Sri Lanka.
“Industri juga lebih berkembang dari aspek stabilitas masyarakat, aspek makro ekonomi, dan aspek politik, ” jelasnya.
Utang Indonesia saat ini masih dalam kondisi sangat aman. Indonesia memang membutuhkan dana tersebut untuk bisa membiayai proyek pertumbuhan dan proyek untuk masyarakat. “Jadi, saya rasa isu utang bukan suatu masalah lagi untuk Indonesia, ” terangnya. (*)
Penulis : Sandi Prabowo
Editor : Binti Q Masruroh