SURABAYA – Jatuhnya rezim orde baru pada pertengahan Mei 1998, menandakan lembaran baru menuju reformasi telah dimulai. Namun, euphoria yang dirasakan pasca runtuhnya rezim otoriter tersebut menggoreskan luka dihati masyarakat Indonesia. Penghilangan paksa para pejuang reformasi oleh negara menjadi catatan sejarah kelam bagaimana rezim saat itu memperlakukan warganya.
Dua Ksatria Airlangga, Petrus Bima Anugrah (FISIP 1993) dan Herman Hendrawan (FISIP 1990) menjadi salah dua pejuang reformasi yang dibungkam paksa saat melantangkan suara demi melawan rezim orde baru saat itu. Tak ingin melupakan peristiwa tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar agenda Monologue yang bertajuk “Maret Kelam UNAIR” yang bertempat di Kampus MERR (C) UNAIR.
Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FEB UNAIR, Suci Anggraeni, Sabtu (2/4/2022) mengatakan bahwa aksi ini dilaksanakan sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat mengenai banyaknya kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan, bahkan terkesan ditutup-tutupi oleh pemerintah.
”Mungkin selama ini yang santer kita dengar tentang HAM kalo ga Munir, Widji Tukul, atau Marsinah. Tapi ternyata dibalik ketiga nama besar itu, ada nih dari almamater kita sendiri, dua ksatria airlangga yang juga jadi salah dua dari banyaknya korban HAM di tahun ’98, ” ujar Suci saat ditanya mengenai alasan mengangkat dua tokoh tersebut.
Agenda tersebut berfokus kepada aksi yang dilaksanakan di depan Kantor Manajemen UNAIR dan dilanjutkan dengan pembuatan video mengenai kedua tokoh tersebut. Menurut Suci, agenda itupun dilaksanakan sebagai wujud dari kekecewaan kepada pemerintah yang berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM, namun hingga kini belum terlaksana.
“Terus apa yang kita pingin dari pemerintah? Kalo memang untuk mengusutnya terkesan memberatkan, setidaknya pemerintah ada untuk memberikan penjelasan kemana orang-orang ini, ” tambah Suci
Dihubungi secara terpisah, Ketua Pelaksana MONOLOGUE, Bintang Febriano, pun mengungkapkan bahwa kegiatan itu memiliki urgensi yang sangat penting, terutama kepada sivitas akademika UNAIR. Mengingat, sambungnya, kedua tokoh tersebut menjadi tokoh yang berjasa sehingga mampu mengantarkan bangsa ini keluar dari rezim orde baru.
Tidak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa selain melaksanakan aksi, MONOLOGUE pun hadir sebagai ajang edukasi kepada masyarakat, khususnya mahasiswa UNAIR. “Khususnya mahasiswa UNAIR sendiri sadar ada ‘kakak’-nya yang hilang dalam kasus aktivis, ” tutur Bintang.
Mengenai kendala, Bintang menuturkan bahwa dirinya sempat kesulitan untuk mencari narasumber dan valid dan kredibel. Namun, hal itu dapat diatasi, dengan dihadirkannya Dandik Adhisura selaku teman seperjuangan Petrus Bima dan Herman Hendrawan.
“Masyarakat khususnya mahasiswa dapat memiliki keberanian dalam menyuarakan suatu penindasan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, ” tutup Bintang (*)
Penulis: Afrizal Naufal Ghani
Editor: Nuri Hermawan